
Parapatan atau Simpang Lima, Dulu Memang Cuma Empat
Parapatan—kemudian dikenal dengan nama Simpang Lima—merupakan persimpangan terbanyak paling populer di Kota Bandung. Simpang ini adalah pertemuan lima jalan, yaitu Jl. Asia Afrika, Jl. Sunda, Jl. Sunda–Karapitan, Jl. Gatot Subroto, dan Jl. Ahmad Yani.
Tak syak lagi, kepopuleran tersebut salah satunya disebabkan persimpangan ini berada di pusat kota dan jalan raya. Nama perempatan ini juga sudah tercatat dalam peta yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda pada 1935. Mungkin banyak orang yang tidak mengira bahwa beberapa area di sekitar Simpang Lima awalnya merupakan rawa. Terlebih, sebelum mega proyek pembangunan Jalan Raya Pos pada 1808–1811.
Lantas, parapatan/perempatan kok lima? Bukannya seharusnya empat? Apa tidak bikin bingung?
Ya, mulanya simpang ini memang empat sehingga masyarakat menyebutnya parapatan dan ini berkaitan dengan toponimi. Hingga awal abad ke-20, Jl. Gatot Subroto memang belum tembus ke perempatan ini karena masih berupa rawa atau ranca. Konon, oleh karena alasan itulah, Jalan Raya Pos dari arah barat (Jl. Asia Afrika) menyerong sedikit ke utara tepat di parapatan ke timur (Jl. Ahmad Yani).
Sebagai jalan utama waktu itu, Jalan Katapanglah yang menghubungkan Jl. Ahmad Yani dengan Jl. Gatot Subroto dan tembus hingga Binong–Kiaracondong.
Gedung Pensil
Menyambungnya Jl. Ahmad Yani dan Jl. Gatot Subroto seiring dengan dibangunnya gedung unik dan anggun di tepi parapatan sebelah timur pada 1918. Masyarakat Bandung mengenalnya sebagai Gedung Pensil karena kemiripan desainnya dengan alat tulis tersebut.
Gedung Pensil, kini Danareksa, yang berdiri di tepi belokan Jl. Ahmad Yani dan Jl. Gatot Subroto pernah menjadi ikon parapatan. Setelah kehadiran gedung berdesain kerucut, parapatan tersebut kemudian dikenal sebagai Parapatan atau Simpang Lima. Desain bangunannya yang simetris bergaya arsitektur Eropa tampak anggun dipandang dari arah Jl. Asia Afrika. Oleh karena itu, masyarakat Bandung tempo dulu sangat mengenalnya.
Tugu
Ramainya lalu-lintas Parapatan Lima alias Simpang Lima Bandung membuat pemerintah pada saat itu berpikir untuk membangun sebuah penanda. Sekitar tahun 1930-an, dibangunlah tugu semacam tiang yang tinggi tepat di tengah persimpangan. Saat itu, kawasan Simpang Lima juga dikenal sebagai pusat perdagangan.
Tugu di Simpang Lima Bandung mengalami beberapa kali pergantian. Perubahan yang signifikan sedikitnya ada dua, yaitu diganti dengan Monumen Dasasila Bandung yang dibuat pada 1984 berkaitan dengan momen Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955.
Menjelang peringatan KAA ke-60 tahun 2015, Monumen Dasasila Bandung dialihkan ke kawasan Gedung Merdeka dekat Sungai Cikapundung. Sebagai gantinya, di Simpang Lima—salah satu sudut anggun Kota Bandung—dibangun tugu baru menjulang berwarna merah bata. Pada tugu ini, selain ada jam juga nama-nama negara KAA dan taman mini di bawahnya.*